Jumat, 24 Oktober 2008

Ketidakadilan Demokrasi Politik Soeharto


Disertasi Prof Dr Ramly Hutabarat SH


Saat nyantri di Pondok Modern Gontor, ia tak pernah bercita-cita menjadi ahli hukum, staf ahli menteri, guru besar, bahkan rektor. Yang ada hanya syahirul layaal (melek di malam hari).


Siapa bilang pemerintahan Soeharto merugikan publik? Buktinya, presiden Indonesia kedua itu sukses membangun infrastruktur untuk terselenggaranya agenda negara. Tapi, tunggu dulu! “Di sisi lain banyak terjadi ketidakadilan, khususnya di bidang politik,” ujar Ramly Hutabarat yang menulis disertasi "Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di Indonesia, 1971-1997."

Menurut Ramly, alam demokrasi politik soeharto terlalu banyak memunculkan diskriminasisi politik. Lulusan Pondok Modern Gontor, 1972, itu secara serius mengkaji sejauhmana ketidakadilan yang pernah dilakukan oleh penguasa Orde Baru ini. Banyak indikator yang menjurus ke arah sana. Misalnya, saat Soeharto berkuasa hanya terdapat tiga partai politik yakni Golkar, PDI, dan PPP. Ketiga parpol ini hasil fusi politik tahun 1973. “Di mana hanya ada satu partai yang memegang kendali kekuasaan, yakni Golkar. Tapi Golkar tak ingin menyebut dirinya partai,“ ungkap guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.

Pemimpin seperti ini disebut otoriter. Menurut Ramly, otoriterianisme pemerintahan bukanlah sesuatu yang baru dalam jagad kenegaraan kini. “Sudah berabad-abad lampau terutama dalam kerajaan-kerajaan yang ingin menjadikan rakyat tunduk pada kekuasaan penguasa,” ujar penulis buku-buku politik dan tata negara ini.

Lebih jauh ia mengungkapkan, tatanan demokrasi mulai tumbuh ketika mesyarakat dunia menggunakan sistem demokrasi dalam negara. Namun sering pula terjadi dalam sistem republik adanya pemerintahan otoriter, misalnya terjadi di negara-negara ASEAN. “Presiden Marcos dari Filipina dan Presiden Soeharto dari Indonesia. Mereka contoh penguasa otoriter yang justru berkuasa dalam negara republik,” papar Ramly.

Di Indonesia, pemerintahan otoriter berlangsung lebih dari 30 tahun. Dimulai setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI, muncul perubahan kepemimpinan bangsa dan negara. Pemerintahan Soekarno berganti menjadi pemerintahan Soeharto. Pemerintahan Soeharto di bawah sistem demokrasi Pancasila melaksanakan pemerintahannya dengan tekad melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.

Namun kata Ramly, konsistensi merealisasikan tekad ini relatif hanya berjalan beberapa tahun saja, sekurang-kurangnya hanya tahun 1966, 1967, dan 1968. Pemerintahan Soeharto semakin memiliki legitimasi setelah pada bulan Maret 1968 MPRS secara resmi menetapkannya sebagai presiden. “Sejak itulah Soeharto melakukan konsolidasi format kekuasaannya dengan menciptakan rekayasa politik,” kata Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Jawa Barat, ini. Rekayasa politik itu antara lain dilakukan melalui politik hukum dan menyusun organisasi sosial politik sebagai sandaran basis kekuasaan. Kemudian dikendalikan dengan cara teratur dan terarah. Basis Soeharto menjadikan Golkar sebagai wadah politiknya ditempatkan berbeda dengan partai politik lain. “Sebagai contoh, tampak dalam rekrutmen anggota kabinet yang tidak memberi kesempatan kepada partai politik selain Golkar untuk menjadi menteri atau gubernur,” kata Ramly.

Ramly merunut kebijakan Soeharto melahirkan undang-undang yang tidak proporsional. Pada 1985 lahirlah lima Undang-undang politik yang menjadi kekuatan Soeharto mengendalikan demokrasi politik, yang terdiri dari Undang-undang (UU) tentang Pemilihan Umum, UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya, UU Referendum, dan UU tentang Organisasi Kemasyarakatan. “Ini sekadar contoh saja produk hukum yang digunakan Soeharto untuk menciptakan politik hukum mengendalikan demokrasi politik,” lanjutnya.

Dalam penelitian ini Ramly menggunakan teori Carl Baggs dan Alfred Stepan tentang teori korporatisme. Ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menitikberatkan pada kajian perundang-undangan terutama berhubungan dengan demokrasi politik. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Bahkan ia harus menyambangi beberapa perpustakaan di Malaysia. Ramly merasa bangga karena kajian disertasinya dibimbing oleh pakar hukum kebanggaan bangsa Indonesia. Antara lain, Prof Ismail Sunny, Prof Yusril Ihza Mahendra, Prof Jimly As-Shiddiqie, Prof Harun al-Rasyid, dan Prof Maswadi Rauf.

Kiprah pendidikan
Menjadi seorang guru besar tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia beberapa waktu lalu menjadi kebanggaan Ramly. Menurutnya, posisi itu ia raih melalui perjuangan panjang. “Saya orang desa yang merantau ke Jakarta, menuntut ilmu di UI dengan susah payah. Kuliah jalan kaki dan kos di kamar yang jelek,” paparnya.

Ramly didapuk sebagai guru besar, jenjang karir akademik tertinggi, di UI setelah memenuhi berbagai persyaratan yang diperlukan, seperti banyak menulis karya ilmiah, berbicara dalam berbagai seminar, kegiatan sosial dan beberapa syarat lainnya. Ramly yang juga menjabat sebagai staf ahli Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini menuturkan, ingin memaksimalkan kegiatannya dalam dunia pendidikan, pengajaran, dan penulisan. Ini dibuktikan ketika dirinya terpilih sebagai rektor UIKA Bogor periode 2008-2012.

Sementara sebagai staf ahli menteri, ia ingin membantu pemerintah sesuai bidangnya. Misalnya memberi masukan dan gagasan-gagasan kepada menterinya. Salah satu gagasannya adalah keharusan membangun hak-hak politik warga negara sesuai perspektif UUD 1945. Dan, untuk membangun hak-hak politik warga negara dalam perspektif UUD 1945 perlu ditekankan jika mengabaikan hak-hak politik warga negara, hal itu menyimpang dari konstitusi, karena hak asasi manusia sebagai bagian intrisik demokrasi dalam era reformasi tidak dapat dibendung. Namun, jelas Ramly, harus diatur agar tidak terlalu liberal dan kebablasan.

Selain itu, tambah dia, untuk membangun hak-hak politik yang ideal bagi kehidupan bangsa dan negara, sistem multi partai politik harus disederhanakan secara demokratis, transparan, elegan, dan bermartabat. Salah satu caranya, memerberat syarat-syarat pendirian partai politik, memverifikasi syarat-syarat administrasi dan substansial secara menyeluruh di tingkat nasional dan daerah. Sehingga yang muncul ke permukaan adalah partai politik yang memenuhi persyaratan.

Bapak empat anak ini memaparkan, membangun hak-hak politik warga negara harus memerhatikan prinsip “equality before the law” yang memandang warga negara sama hak politiknya, baik individual maupun institusional dan “political will” yang menggagas secara elegan, demokratis, dan bermartabat untuk menciptakan sistem multi partai politik yang sederhana dan menghindarkan cara-cara otoriter serta pemaksaan membatasi jumlah partai politik.

Tak terpikirkan
Ramly lulus Pondok Modern Gontor tahun 1972. Selama nyantri tak pernah terpikirkan untuk menjadi guru besar atau rektor. Di benaknya hanya teringat disiplin pendidikan Gontor yang futuristik. Kebiasaan Syahirul Layaal (melek di malam hari) masih ia lakukan hingga kini. Manfaatnya, ”Alhamdulillah beberapa jabatan akademik pernah saya rasakan,” katanya.
Karena ijazah Gontor belum bisa diterima UI pada 1973, untuk beberapa bulan Ramly ikut belajar di sebuah SMA guna mendapat ijazah. Saat perpisahan SMA tersebut Ramly tampil memukau berpidato. ”Waktu itu tak ada siswa yang berani berpidato kecuali saya,” kata mantan pengurus Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM) Gontor bagian Perpustakaan itu.n tata septayuda

Biodata

Prof Dr Ramly Hutabarat SH MHum
Lahir: Sibolga, 15 Maret 1953
Pekerjaan:
- Rektor UIKA Bogor, 2008-sekarang
- Staf Ahli Menteri Bidang Polhukam, Departemen Hukum dan HAM RI, 2005-sekarang
- Ketua Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999-sekarang.
- Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI, 2000-sekarang.
Pendidikan:
- Pascasarjana (S3) Universitas Indonesia, 2004
- Pascasarjana (S2) Universitas Indonesia, 1996
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 1983
- Pondok Modern Gontor Ponorogo, 1967-1972
- SMP Negeri I Sibolga, 1969
- SD Negeri VIII Sibolga, 1966

Riwayat Pekerjaan:
- Anggota tim ahli bidang hukum, Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi DPR-RI, 1994
- Tim Pengkajian Masalah Hukum Tentang Kedudukan dan Fungsi Mahkamah Agung Pemegang Kekuasaan Tertinggi, BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional), 1999
- Kepala Biro Riset DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), 1996-2000

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ini resensi nya ya mas?