Minggu, 02 Maret 2008

Kapan Kubuka Bukuku

Julius Caesar, kaisar Roma, pernah menyerang Mesir tahun 47 sebelum Masehi. Tapi serangan itu bagai angin lalu karena Mesir memiliki tentara yang kuat dan persenjataan lengkap. Saking kuatnya Mesir, Julius beserta pasukannya terjepit. Dalam keadaan terjepit itulah Julius membakar perpustakaan besar Mesir yang bernama Alexandria (the Great Library of Alexandria). Julius tahu penduduk Alexandria sangat cinta pada perpustakaannya. Jika bangunan itu dibakar, mereka semua pasti beramai-ramai memadamkan api dan membiarkan Julius beserta pasukannya pergi. Taktik itu berhasil. Demi menyelamatkan perpustakaannya, hampir seluruh warga kota beserta pasukan kerajaan dikerahkan untuk memadamkan kebakaran itu. Mereka berusaha menyelamatkan dokumen-dokumen berharga. Meski demikian, tak kurang dari 40.000 buku hangus terbakar. Hal itu menimbulkan kesedihan mendalam di hati warga Mesir.

Orang Mesir menganggap, melalui buku --yang waktu itu berupa papyrus-- skup peradaban bisa diwariskan dari generasi ke generasi. Maka secara teoritis, kata Direktur Balai Pustaka, Dr Zaim Uchrowi, seharusnya buku menjadi bagian dari kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat sebuah bangsa. "Namun inilah yang kurang disadari oleh sebagian masyarakat Indonesia. Mereka tidak menggemari bacaan," katanya kepada Edukasia. Zaim mencontohkan, di negara lain seperti Jepang, sebagian besar masyarakatnya menjadikan buku sebagai santapan sehari-hari. Di manapun mereka berada. "Selama menumpang di gerbong kereta, orang Jepang membiasakan membaca buku atau majalah. Sesampai di tempat tujuan, bacaan tersebut mereka buang ke tempat sampah bagaikan bungkus kacang goreng," kata penulis buku Menggagas Renaisans Indonesia itu.

Zaim lalu bercerita tentang kerisauan Prof Sudjatmoko, mantan rektor Universitas PBB-Tokyo. Ia salah seorang intelektual Indonesia yang pemikirannya jernih dan tuturnya santun. Pada suatu waktu, cerita Zaim, sang begawan itu tampak risau dengan perubahan yang tengah terjadi di masyarakat. Di awal tahun 1990-an dunia televisi merebak dan studio TV swasta bermunculan. Hampir setiap rumah memiliki TV dan gubuk-gubuk di tempat terpencil banyak yang memasang antena parabola. Pagi, siang, dan malam televisi di rumah-rumah menyala selama berjam-jam. Di sinilah, televisi menjadi budaya baru masyarakat Indonesia. Kehadiran TV telah mengalahkan budaya baca. "Pada mulanya semua masyarakat adalah masyarakat tradisional yang memiliki budaya lisan, bertutur, atau mendongeng," papar doktor lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu. Namun, lanjutnya, pada bangsa-bangsa maju, budaya masyarakat tersebut berkembang menjadi budaya membaca. "Ketika era televisi tiba, masyarakat dapat mangadopsi budaya baru tersebut dengan baik sehingga memunyai fondasi kuat dalam budaya baca dan tulis sebelum melangkah ke budaya audio visual," kata mantan wartawan Republika dan Tempo itu. Di Indonesia, kata Zaim lagi, secara umum masyarakat belum cukup memiliki fondasi budaya baca dan tulis. Aktivitas rendahnya minat baca boleh jadi akibat dari kondisi masyarakat yang pergerakannya melompat dari keadaan praliterer (bertutur) ke masa pascaliterer (teknologi audio visual), tanpa melalui masa literer (bacaan). "Masyarakat kita melompat dari budaya dongeng ke budaya audio visual. Maka, acara televisi yang paling digemari adalah berbau dongeng atau gosip," ungkapnya.

Untuk menumbuhkan minat baca, imbuhnya, selayaknya kita mendukung program Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam memrioritaskan pemberantasan buta aksara. Selain itu, kata dia, pengembangan perpustakaan-perpustakaan umum sudah harus dilakukan bukan hanya di tingkat kabupaten maupun kecamatan, melainkan juga harus sampai ke tingkat desa. "Maka saat di rumah, orangtua perlu mendorong anak-anak untuk membudayakan bacaan. Kegemaran itu bisa dimulai dari bacaan paling ringan, seperti komik atau majalah anak-anak," kata Zaim yang suka mengajak anak-anaknya membeli buku ketimbang rekreasi keluar kota. Hal senada dikatakan pengamat pendidikan, Darmaningtyas. Menurutnya, minat baca masyarakat Indonesia lemah karena tradisi lisan di Indonesia lebih dominan dibanding tradisi tulis. "Kalau dulu mungkin karena adanya keterbatasan teknologi sehingga kitab-kitab ditulis di dedaunan, pohon, atau batu. Tapi ketika teknologi, dalam hal ini percetakan, muncul tidak otomatis memacu pertumbuhan minat baca," ujarnya kepada Edukasia.

Maraknya media audio visual di negeri ini makin membuat minat baca melemah. Audio visual lebih digemari karena tidak hanya menampilkan cerita, tapi juga gambar. "Masyarakat kita ketika lahir belum melek huruf tapi sudah melek televisi, sehingga minat bacanya rendah. Sejak kecil banyak keluarga yang tidak mengajarkan membaca tapi melihat televisi," papar Darma. Ia menyebutkan, 90 persen masyarakat Indonesia memersilakan anaknya menghabiskan waktu di depan televisi. Karena itu dengan sendirinya tidak ada niat membaca karena program televisi jauh lebih menarik dari membaca. "Karena tradisi di keluarga, orang lebih mudah mendengarkan daripada membaca." Faktor lain penyebab rendahnya minat baca, kata Darma, adalah masalah ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga. Pada keluarga miskin, orangtua sibuk mencari nafkah. Mereka tidak memunyai uang untuk membeli buku atau bahan bacaan lain. Begitupun tidak berpikir untuk membaca.

Sedangkan pada keluarga yang kurang berpendidikan, meski mereka secara ekonomi mampu membeli buku, namun tidak memiliki kesadaran untuk menumbuhkan minat baca pada anak-anaknya. Apalagi kalau orangtua itu buta huruf. "Di Indonesia ada 23 juta kepala keluarga yang berpendidikan SD. Bisa dibayangkan bagaimana kultur mereka," kata Darma. Sementara itu penulis produktif Gola Gong mengatakan persoalan mendasar rendahnya budaya baca ini disebabkan faktor ekonomi negara dan kurangnya perhatian pemerintah. Secara struktural, kata dia, kemiskinan menjadi warisan turun-temurun sehingga para pemimpin negeri tidak menciptakan budaya baca. Ia mencontohkan, masalah politik bisa digiring ke persoalan sembako dan kampanye para calon pemimpin jarang mengangkat persoalan minat baca ini. "Sehingga terkesan buku adalah barang mewah bagi wong cilik," papar Gola Gong kepada Edukasia.

Dia menguraikan, di masa kejayaan Presiden Soeharto yang dicitrakan selalu sebagai "Bapak Pembangunan", bukan sebagai "Bapak Buku". Foto-foto Soeharto kebanyakan sedang tersenyum sambil menggenggam setangkai padi, bukan sebuah buku. Selain itu, para menteri dan pejabat, tidak ada yang mencitrakan dirinya sebagai "jadi menteri karena baca buku". Akibatnya, buku jadi barang yang asing. Bagi penulis novel Balada Si Roy ini, faktor mahalnya harga buku juga berpengaruh terhadap budaya baca. "Buku menjadi mahal, karena terlalu banyak pajak. Para penulis buku juga kurang mendapat penghargaan dari pemerintah," katanya. Kultur masyarakat kita memang lisan. Tapi, kata pengelola komunitas Rumah Dunia itu, sebetulnya lisan adalah bagian dari empat keterampilan berbahasa: mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. "Alhamdulillah, sekarang pascareformasi, pemerintah mulai berubah pandangannya terhadap buku dengan hadirnya Program Taman Bacaan Masyarakat. Partisipasi masyarakat juga tinggi terhadap gerakan Indonesia Membaca," katanya.

Perilaku mahasiswa Indonesia juga bisa digunakan untuk mengukur rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Dr Luthfi Fathullah, dosen Universitas Indonesia (UI) mengamati, mahasiswa Indonesia saat berada di angkutan umum seperti bus, angkot, dan kereta api, kegiatannya hampir seragam. "Diam, bengong, tidur, ngobrol, dengar musik dari pemutar MP3, atau ber-SMS-ria," ungkap alumnus Pondok Modern Gontor itu. Menurut Luthfi, pemandangan seperti itu sangatlah lumrah di negeri ini dan hampir semua orang berperilaku sama. "Berbeda dengan kalau kita sempat naik kendaraan umum itu di London atau Tokyo, 90 persen penumpangnya membaca. Baik yang mahasiswanya, maupun para pekerja kantor, mereka semua melakukan kegiatan yang sama: membuka buku lalu membacanya," ungkap doktor Hadis lulusan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) itu.

Tata Septayuda dan Rusdiono Mukri
Majalah EDUKASIA, Edisi Maret 2008