Jumat, 24 Oktober 2008

Teologi Pembaruan Muhammadiyah dan Persis


Disertasi Doktor Fauzan Saleh


Indonesia sering dipandang sebagai kawasan Islam pinggiran di antara negara-negara Islam lain. Tapi wacana teologi pembaruan di negeri ini sudah berkembang sejak awal abad ke-20.


Secara geogafis, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam yang terletak paling jauh dari tempat kelahiran Islam di Arab Saudi. Inilah salah satu alasan Fauzan Saleh (55) memetakan secara komprehensif perkembangan pemikiran teologi Islam di Indonesia sepanjang abad ke-20. Fauzan memofuskan pembahasannya pada pemikiran kaum modernis, terutama dari kalangan Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) serta kelompok yang mewarisi semangat modernisme pada akhir abad tersebut. Kemunculan gerakan ini didorong oleh keinginan untuk melaksanakan ajaran Islam secara murni.
Dalam bahasa Fauzan, agar terbebas dari beban tradisi yang tidak memiliki sumber doktrin yang tegas. Kelompok ini juga dikenal sebagai gerakan pembaruan, yaitu upaya memahami doktrin Islam sesuai dengan semangat zaman. “Fokusnya berawal dari kesadaran agar umat Islam bangkit dari keterbelakangan,” kata lulusan Pondok Modern Gontor, 1973, itu. Mengupas pemikiran teologis yang dikembangkan masa itu, dapat dilihat sebagai langkah awal untuk membahas persoalan teologi secara sistematis dalam konteks historis-kultural bangsa Indonesia. "Inilah gambaran dasar yang ditimbulkan dalam proses islamisasi di Indonesia," lanjut Fauzan.
Disertasi di Mc-Gill University, Montreal, Kanada, itu berjudul The Development of Islamic Theological Discourse in Indonesia: A Critical Survey of Muslim Reformist Attempt to Sustain Orthodoxy in the Twentieth Century Indonesia. Kajian Fauzan dinilai berhasil menggambarkan kalangan modernis dan neo-modernis telah mampu menangkap imajinasi berbagai generasi yang berbeda-beda dari umat Islam Indonesia. Pendekatannya juga menunjukkan adanya tren baru dalam menyajikan kajian tentang pemikiran Islam yang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi kontemporer.
Prof Howard M Federspiel selaku promotor di Mc-Gill mengatakan disertasi Fauzan sebagai karya akademik terbaik tentang Islam di Indonesia, sejak kemunculan karya Prof Deliar Noer dari Cornell University, sekitar 50 tahun silam. Setidaknya terdapat empat poin yang dipersembahkan dalam disertasi ini. Di bagian awal Fauzan memberi gambaran ringkas tentang profil Islam di Indonesia sebelum munculnya gerakan pembaruan pada awal abad ke-20. Bagian ini untuk mengetahui keadaan perkembangan Islam di Indonesia sebelum diperkenalkan ide-ide pembaruan. “Pijakan ini melandasi pemahaman kami tentang perkembangan pemikiran teologi Islam pada masa sesudahnya,” kata dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, Jawa Timur, itu.
Pada bagian kedua Fauzan membahas para pemikir Muslim Indonesia yang mencoba merumuskan kembali ortodoksi Islam. Pembahasan ini diperlukan agar masyarakat memahami perdebatan soal hakikat ortodoksi yang berlangsung begitu lama antara kaum reformis dan tradisionalis. Sedangkan pada bagian ketiga, ia membahas gerakan pembaruan Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah dan Persis, yang berupaya merekonstruksi wacana teologi dengan mengusung pemurnian akidah sebagai tema sentralnya. Kepedulian ini ternyata tidak hanya terbatas pada para tokoh awal gerakan pemurnian ini, tapi dilanjutkan oleh para pemikir dari kalangan pembaharu dewasa ini.
Karena itu, menurutnya, sangat menarik membahas lebih lanjut upaya pemurnian akidah ini oleh generasi mutakhir semacam Dr Amien Rais yang mendapat gelar akademiknya di Barat dan menjadi pimpinan tertinggi di Muhammadiyah (1995-1998), dan tokoh-tokoh lain. Sedangkan pada bagian terakhir, Fauzan membahas perkembangan terkini pemikiran teologi Islam di Indonesia. Ini terutama mengangkat karya-karya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, dua tokoh yang sangat menonjol dalam pembentukan wacana keislaman kontemporer. Pembahasan tema ini diarahkan pada perkembangan pemikiran teologi sejak pertengahan dekade 1980-an, ketika umat Islam Indonesia mulai memainkan peran lebih besar dalam kemajuan kultural dan ekonomi negeri ini.
Pada pertengahan dekade 1980-an ada perubahan yang sangat besar dalam hubungan antara umat Islam dan birokrasi pemerintahan. Upaya saling mendekat antara keduanya menunjukkan hasil yang cukup berarti. Setidaknya, menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi meluasnya budaya ortodoksi santri di Indonesia. Dalam banyak hal, upaya saling pengertian tidak mungkin terwujud kecuali jika umat Islam mau memerbaiki pemahaman teologisnya dalam memandang ide-ide modernisasi. “Suatu upaya yang tak kenal lelah dilakukan oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid,” papar pria kelahiran Ponorogo, 19 Januari 1953, ini.

Pendekatan Muhammadiyah dan PersisDasar-dasar keyakinan Muhammadiyah menyatakan dirinya sebagai pengikut Ahl al-Haqq wa as-Sunnah (sebagaimana secara nyata disebutkan dalam kitab al-Iman. Meskipun istilah Ahl al-Haqq wa as-Sunnah sama dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Muhammadiyah tetap menggunakan istilah Ahl al-Haqq ini dengan merujuk secara langsung kepada karya Abu Hasan al-Asyari, a-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. Dalam buku ini al-Asyari menunjukkan posisi Ahl al-Haqq sebagai lawan dari Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’atau pengikut paham yang menyimpang dan bid’ah.
Muhammadiyah juga menegaskan bahwa pengikut Ahl al-Haq wa a-Sunnah, berdasarkan janji Nabi Muhammad SAW adalah golongan yang akan selamat dari api neraka. Karena itu, menurut Fauzan, kelompok inilah yang disebut al-Firqah al-Najiyah. Kitab al-Iman di dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah sepenuhnya dimaksudkan untuk membahas dasar-dasar keyakinan menurut interpretasi Muhammadiyah. "Islam dan iman sebagai dasar doktrin agama yang pokok, merujuk kepada Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim ibn al-Hajjaj," papar Fauzan.
Iman menurut pandangan Muhammadiyah, lanjutnya, memunyai konsekuensi tertentu bagi orang Islam. Iman harus diekspresikan dalam bentuk amal shalih. Karenanya, orang beriman harus memunyai kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Mereka harus bersedia mengorbankan sebagian kekayaan mereka di jalan Allah demi kesejahteraan masyarakat luas, khususnya fakir miskin. Kemiskinan yang diderita umat Islam Indonesia di awal abad ke-20, kata Fauzan, telah membangkitkan perhatian sebagian tokoh Muhammadiyah untuk mencarikan solusi. Mas Mansoer (1896-1946), seorang tokoh terkemuka Muhammadiyah saat itu, sangat besar perhatiannya terhadap kondisi sosial sekelilingnya. Dia begitu yakin bahwa kemunduran yang diderita umat Islam saat itu karena lemahnya iman, kebodohan, dan kecenderungan mementingkan diri sendiri. Di sisi lain, doktrin Muhammadiyah menegaskan bahwa rasio harus memainkan peran penting dalam memahami Tuhan dan bagaimana manusia menjalankan kewajibannya kepada-Nya.
Dengan kata lain, rasio merupakan aspek yang amat penting dalam kehidupan keagamaan. “Ini bagian konsep teologi pembaruan yang diusung Muhammadiyah," ungkap Fauzan. Sementara itu, Persis sangat besar perhatiannya kepada kondisi umat Islam Indonesia yang sangat memrihatinkan di awal abad ke-20. Dalam pendahuluan Anggaran Dasar organisasinya, Persis menyatakan bahwa umat Islam tidak akan jatuh ke jurang kesengsaraan seandainya mereka tetap berpegang teguh pada dasar keyakinan sesuai al-Qur'an dan Sunnah. Pendahuluan Anggaran Dasar tersebut menyatakan pula kerangka memerbaiki kesejahteraan umat Islam: mereka harus menjauhi semua bentuk keyakinan yang keliru dan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam menyebarluaskan ide-idenya, Persis menggunakan pola “hidup berjamaah” di bawah bimbingan seorang imam sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad. Karena itu, tujuan utama Persis ialah menerapkan ajaran Islam sebagai aspek kehidupan umat Islam serta kembali kepada kemurnian akidah dan syariat. Konsekuensinya, Persis menegaskan perlunya menghapuskan bentuk-bentuk bid’ah, takhayul, khurafat dan taklid buta serta kemusyrikan yang masih merata di kalangan umat Islam Indonesia saat itu. Perumusan doktrin Persis lebih banyak didasarkan pada upaya yang dilakukan oleh A Hassan (1887-1958), tokoh intelektual terkemuka di dalam organisasi ini.
Dengan tulisannya yang cukup produktif (sekitar 80 risalah), Hassan diakui sebagai pelopor perkembangan literatur Islam di Indonesia awal abad modern. Menyoal teologi, dalam Islam dan Kebangsaan (1941), misalnya, Hassan memberikan landasan bagaimana rakyat sebuah bangsa harus menjalin hubungan sesama rakyat namun tetap menjaga ketaatan kepada Allah. Menurut Fauzan, konsep Hassan ini menunjukkan kepada umat Islam tentang peran Islam yang sebenarnya di dalam kehidupan masyarakat. Fauzan menambahkan, buku Hassan ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi umat Islam dalam membahas nasionalisme sebagai dasar bagi negara Indonesia yang akan datang.
Sebab, ketika datang ke Indonesia, Islam tak lagi unggul secara politik, ekonomi dan budaya. Indonesia sering dipandang kawasan Islam periferal (pinggiran) di antara negara-negara Muslim lain. Tapi seiring itu, wacana teologi pembaruan sudah berkembang sejak awal abad ke-20. Fauzan menyimpulkan, gerakan Muhammadiyah (1912) dan Persis (1923) inilah yang mengawali munculnya gerakan kaum reformis di awal abad ke-20. Ini merupakan bentuk respon terhadap kebutuhan pemurnian ajaran Islam dari berbagai pengaruh budaya lokal yang bertentangan dengan semangat Islam.n tata septayuda


Terbit di Belanda
Doktor Fauzan Saleh dilahirkan di Ponorogo, Jawa Timur, 19 Januari 1953. Menamatkan pendidikan menengahnya di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, 1973, ia mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di Gontor hingga 1979, sambil menyelesaikan program Sarjana Muda di Institut Pendidikan Darussalam (IPD) Gontor. Pada 1984 Fauzan memeroleh gelar doktorandus (Drs) dari Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya. Tiga tahun kemudian ia diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri. Fauzan mendapat beasiswa dari Canada International Development Agency (CIDA) untuk melanjutkan pendidikannya di jenjang Master dan memeroleh gelar Master of Arts (MA) di Institute of Islamic Studies, McGil University, Montreal, Kanada, 1992. Sedangkan gelar doktor diperoleh dari universitas yang sama pada 2000, dengan disertasi berjudul “The Development of Islamic Theological Discourse in Indonesia: A Critical Survey of Muslim Reformist Attempt to Sustain Orthodoxy in the Twentieth Century Indonesia”. Atas saran dan dukungan Prof Howard M Federspiel, selaku promotor, disertasi tersebut diterbitkan di Belanda dengan judul Modern Trends in Islamic Theological Discourse in the Twentieth Century Indonesia: A Critical Survey (Leiden, Boston an Koln: Bril, 2001). Pada 2004, disertasi Fauzan juga diterbitkan oleh Penerbit Serambi, Jakarta, dengan judul Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Fauzan pernah mengajar di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (2001-2003). Sampai sekarang ia juga mengajar di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

Multikulturalisme Muslim di Australia


Disertasi Doktor Amin Nurdin

Ideologi Islam harus dipraktikkan di mana pun. Sedangkan multikulturalisme merupakan hasil pemikiran filsafat yang bersifat sekular.


Tak banyak orang mengetahui yang pertama kali memerkenalkan Islam di Australia adalah para nelayan asal Makassar. Ketika itu mereka rutin menangkap tripang di pantai utara Australia. Namun pelayaran para nelayan awal abad ke-18 itu tak banyak meninggalkan jejak bagi perkembangan Islam di Benua Kanguru. Fase berikutnya dimulai pada 1860-an dengan kedatangan kelompok Muslim Afghanistan yang membawa unta sebagai alat transportasi di tambang-tambang mineral. Meski masa tinggal mereka tidak berlangsung lama, namun kontribusinya terhadap perkembangan Islam diakui sebagai fondasi kedatangan Islam di Negeri Aborigin itu. “Buktinya, ditandai dengan adanya pembangunan masjid-masjid,” ungkap Dr Amin Nurdin MA dalam disertasi "Islam dan Multikulturalisme: Studi Kasus di Australia.
Migrasi Muslim ini tak berlangsung lama seiring diberlakukannya Kebijakan Kulit Putih Australia pada 1901. “Aturan ini membatasi hak kewarganegaraan yang berlaku hanya bagi kulit putih, sedangkan warga non-kulit putih ditolak kehadirannya,” papar alumnus Pondok Modern Gontor, 1976, itu. Peraturan diskriminatif ini mengakibatkan merosotnya jumlah penduduk Muslim di Australia. Ini berdampak negatif pada perkembangan Islam Australia awal abad ke-20, selama 47 tahun. Migrasi Muslim ke Australia kembali mendapat momentum setelah meletusnya Perang Dunia II.
Amin Nurdin mencatat, terjadi gelombang migrasi Muslim secara besar-besaran dari Turki dan Lebanon. Ini terjadi tahun 1960 hingga 1970-an karena alasan ekonomi dan politik. "Mereka segera melakukan konsolidasi dengan membangun basis komunitas Islam di Australia yang berpusat di kota-kota besar seperti Sydney dan Melbourne," terang Amin.Tingginya arus imigran ini menyebabkan pertumbuhan penduduk di Australia meningkat hampir dua kali lipat. Hal ini memunculkan tekanan dari komunitas etnis dan sebagian penduduk Australia terhadap kebijakan pemerintah yang masih bersifat rasis, diskriminatif, dan monokultural. Mereka menganggap ideologi ini gagal mengakomodasi warisan kultural kelompok imigran.
Karena itu diperlukan suatu kebijakan baru yang mengakui eksistensi komunitas etnis. Tekanan ini mendapat respon positif pada masa Pemerintahan Whitlam tahun 1973. Masyarakat Australia secara luas mendukung diberlakukannya kebijakan baru multikulturalisme yang menghapus kebijakan lama. Kebijakan baru ini tidak hanya diberlakukan kepada kaum imigran, tapi juga mengikat seluruh masyarakat Australia. Sebab konsep ini hendak membangun tata nilai demi mengurangi ketegangan yang pada gilirannya akan membentuk identitas nasional Australia yang baru.

Terpecah dua
Istilah multikulturalisme didefinisikan oleh para ahli secara beragam dan multidimensional. Menurut Amin, multikulturalisme merupakan sebuah tatanan sosial berprinsip keadilan yang mencerminkan nilai dan kesetaraan kelompok berbagai budaya dan etnis. Intinya, "Konsep multikulturalisme menekankan pandangan hidup terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural terhadap kehidupan masyarakat."Semula masyarakat Muslim Australia terpecah menjadi dua kelompok dalam menyikapi penerapan multikulturalisme. Ada yang pro, ada yang menolak. Penolakan mereka khususnya dalam aspek pendidikan multikultural.
Kelompok pertama, yang mewakili mayoritas Muslim di tahun 1970-an. memunyai pandangan konservatif. Kelompok ini beranggapan bahwa ada dikotomi antara ideologi Islam dan prinsip-prinsip multikulturalisme. Kelompok ini mengatakan ideologi Islam berdasarkan Qur'an dan Sunnah harus dipraktikkan di mana pun mereka berada. Sedangkan multikulturalisme merupakan hasil pemikiran manusia yang bersifat sekular. Mereka menuntut diberlakukannya sistem syariat Islam, termasuk pengadilan Islam, kepada umat Islam di Australia.
Kelompok kedua berpandangan moderat. Mereka berpendapat bahwa ideologi multikulturalisme tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, prinsip-prinsip multikulturalisme ingin menyatukan realitas masyarakat yang plural dalam sebuah identitas nasional sejalan dengan kandungan Qur'an, yaitu toleransi dan keadilan. Amin mengatakan, Islam di Australia mestinya dilihat sebagai salah satu acuan bagi keberhasilan multikulturalisme, seperti halnya Islam di Prancis yang dianggap menghambat sekularisme. Nilai-nilai agama Islam, kepercayaan, dan praktik keagamaannya dipandang sebagai sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik dengan organisasi masyarakat di kota-kota Barat.
Pemakaian hijab (cadar) dan tidak adanya kesetaraan jender dalam Islam merupakan tantangan nyata terhadap kompromi ruang publik yang sekular. Karena itu kehadiran imigran Muslim selalu dipandang sebagai “yang lain” (the other).Disertasi ini ingin menjelaskan bahwa konflik ideologis yang dihadapi umat Islam di Australia di tahun 1980-an bukanlah sesuatu yang statis, melainkan bersifat dinamis. Kelompok Muslim tengah menegosiasikan kemusliman mereka dengan kehidupan masyarakat Australia dan lembaga-lembaga yang ada. Latar belakang mereka yang sebelumnya pedesaan dan kini menjadi masyarakat perkotaan telah mengubah pandangannya terhadap lanskap Australia dengan segala pernik budayanya.
Di samping itu secara ekonomi, kehidupan mereka telah terangkat dengan meningkatnya penghasilan mereka setiap tahun. Begitu pula di bidang pendidikan, rata-rata generasi kedua dan ketiga lebih terdidik dengan berdirinya sekolah-sekolah reguler Islam yang disubsidi pemerintah Australia. Secara kultural, mereka mulai melakukan dialog dalam memahami pluralitas agama. Uniknya kegiatan ini diselenggarakan berbagai pimpinan etnis yang juga berbeda agama.

Tak sengaja
Ide disertasi muncul secara tak sengaja dari obrolan Amin Nurdin dengan Dr Lea Jellineck dan Hugh O’Neal (keduanya dosen Universitas Melbourne), dalam suatu undangan makan siang di rumah Hugh O’Neal, di tengah Kota Melbourne, Australia. Ketika mendengar rencana Amin tentang tema penelitian, kedua Indonesianis ini menyarankan Amin Nurdin untuk meneliti posisi agama di tengah masyarakat Australia yang multikultural, karena sangat terbatasnya literatur yang membahas itu. “Tanpa disadari mereka telah menginspirasi saya mewujudkannya dalam sebuah disertasi,” ungkap Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini.
Disertasi Amin ini diuji oleh Prof Komaruddin Hidayat, Prof Bakhtiar Effendy, dan Dr Jamhari di UIN Jakarta. Amin menyimpulkan, dalam implementasinya konsep pendidikan multikultural berhasil mengelola berbagai konflik yang diindikasikan dengan rendahnya beragam potensi kekerasan politik, etnik, dan keagamaan. Implikasi multikulturalisme telah melahirkan kebangkitan komunitas Muslim Australia, yang ditandai dengan maraknya pembangunan masjid-masjid, sekolah-sekolah Islam, dan berbagai organisasi Islam. “Lihat saja, nyaris tak ada konflik dan kekerasan fisik yang terjadi belakangan ini,” kata Amin kepada Majalah Gontor.n
Biodata
NAma : Dr M Amin Nurdin, MA
Lahir : Sumatera Barat, 3 Maret 1955
Pekerjaan:
Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
Pendidikan:
- Program Doktor UIN Jakarta (2006)
- Pascasarjana UIN Jakarta (1992)
- Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1985)
- KMI Pondok Modern Gontor (1976)
Pengalaman Kerja:
- 1987-sekarang: Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
- 2004-sekarang: Dosen Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta
- 2005-sekarang: Ketua Umum Dewan Dakwah Risalah (DDR) Jakarta
- 1999-sekarang: Salah satu pendiri Yayasan Kamil (LSM) di Jakarta
- 1988-1989: Pemimpin Redaksi Jurnal ‘Ulumul Qur’an, LSAF, Jakarta
- 1982-1986: Redaktur Pelaksana Majalah Nasihat Perkawinan dan Keluarga (PT Pustaka Antara - Depag RI)
- 1980-1981: Wartawan Majalah Mingguan TOPIK di Jakarta

Hadis Palsu Durrat al-Nasihin

Disertasi Doktor Luthfi Fathullah
Cucu tokoh Betawi, Guru Mughni, ini menghasilkan penelitian yang mencengangkan dunia kajian Hadis: Sebanyak 30 persen Hadis dalam kitab Durrat al-Nasihin ternyata palsu.

Siapa tak kenal kitab Durrat al-Nasihin (DN). Kitab kuning kumpulan Hadis ini sangat popular di kalangan santri di Indonesia, Malaysia, India, dan Turki. Bahkan sejumlah pesantren di Indonesia, menjadikan DN sebagai bacaan wajib santri. Tapi siapa sangka sebagian Hadis dalam kitab itu ternyata palsu. Adalah Dr Ahmad Luthfi Fatullah MA, yang menguak kepalsuan Hadis-hadis tersebut. Menurut riset pria kelahiran Jakarta, 25 Maret 1964, ini 30 persen dari 839 Hadis di dalamnya ternyata berkategori palsu. Sisanya, 12,5 persen merupakan Hadis dha’if (lemah) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan hanya sekitar 57 persen yang bisa digunakan sebagai sumber hukum atau rujukan. “Jadi 42,5 persen Hadis dalam Durrat al-Nasihin tidak boleh digunakan sebagai rujukan,” ujarnya.
Contoh Hadis palsu yang terkenal di Indonesia dan terdapat di kitab Durrat al-Nasihin adalah: “Barangsiapa yang gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka jasadnya diharamkan dari api neraka.” Luthfi berpendapat, Hadis ini tak dikenal perawinya. Dosen Ilmu Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu tidak menemukan sumber Hadis tersebut yang valid sebagai sabda Nabi Muhammad SAW. Karena itu, "Saya meyakini Hadis tersebut sebagai Hadis yang tidak sahih alias palsu." Dan, itu berarti pula, belum tentu benar bahwa seseorang yang ‘hanya’ merasa gembira akan datangnya Ramadhan, diharamkan jasadnya masuk neraka.
Lutfi menyatakan pendapatnya itu dalam disertasi berjudul "Kajian Hadis Kitab Durrat al-Nashihin" yang ditulisnya guna meraih gelar doktor falsafah dalam bidang Ilmu Hadis pada Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia. Disertasi setebal 787 halaman di bawah bimbingan Prof Dr Jawiah Dakir itu telah dipresentasikannya di depan sidang promosi doktor di UKM, 27 Oktober 1999, dengan penguji Prof Dr Muhammad Radhi, Prof Dr Abdul Samad Hadi, Prof Dr M Zein, dan Prof Dr Muddasir Rosdir. Lutfi meraih gelar doktor dengan yudisium memuaskan.Selain berhasil mengantongi gelar master dalam Ilmu-ilmu Hadis ('Ulumul Hadits) dari Fakultas Syariah Universitas Yordania (1994), Lutfi selama empat tahun juga pernah secara intens bergelut dengan kitab-kitab Tafsir-Hadis karya ulama-ulama ternama, seperti Bukhari, Muslim, Nasa'i, dan Tirmidzi.
Di tambah lagi komunikasi intelektualnya sangat dekat dengan Prof Dr Nuruddin `Itr, salah seorang pakar ilmu Hadis yang sangat dikenal di dunia Arab. Dengan dasar-dasar itu, Luthfi merasa jengah melihat cara masyarakat Islam dalam menggunakan Hadis. Menurutnya, dalam mengutip sebuah Hadis, banyak ulama hanya mengandalkan ucapan "Qaala Rasulullah...", tanpa menyebut siapa perawi dan apa sanadnya. “Ini berbahaya, baik bagi pengucapnya atau pendengarnya. Kalau sebuah Hadis tak jelas perawinya, berarti itu Hadis palsu,” jelas Luthfi. Ia merasa terpanggil untuk memilih DN sebagai objek kajian yang merupakan kitab popular di Indonesia.
Luthfi mengutip penelitian Indonesianis, Martin van Bruinessen, bahwa DN kerap dijadikan rujukan di masjid-masjid, sekolah, dan terutama pesantren-pesantren di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Madura. DN pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebanyak tujuh versi dengan penerjemah dan penerbit yang berbeda-beda. DN juga cukup populer di Malaysia, Turki dan India. Di Turki sudah diterbitkan sejak 1262 H dan mengalami beberapa kali cetak ulang. Begitu pula di Mesir (terbit pada 1264 H), Libanon (dicetak ulang pada 1993 M) dan India (dicetak pada 1281 H). Luthfi menegaskan, di mana tradisi tasawuf cukup kuat, di situlah DN mendapat tempat. Sebab, Hadis-Hadis di dalamnya cenderung lebih dekat ke tasawuf. Yang agak mencengangkan adalah hasil temuan Lutfi sendiri. Hadis yang dikutip di atas bukanlah satu-satunya Hadis palsu dalam DN dilihat dari kekuatan hukumnya. Menurutnya, setelah merujuk pada kitab-kitab ahli Hadis yang diakui (mu`tabarah), secara keseluruhan Lutfi menemukan sebanyak 251 Hadis palsu (30%). Sementara yang lemah (dha`if) 180 Hadis (21,5%), amat lemah 48 Hadis (5,7%), dan belum dapat dipastikan sebanyak 56 Hadis (6,7%). Adapun Hadis yang shahih sebanyak 204 Hadis (24,3%), shahih lighairihi 12 Hadis (1,4%), isnad-nya shahih 2 Hadis (0,2%), hasan 67 Hadis (8%), dan hasan lighairihi 19 Hadis (2,2%).
Berdasarkan studinya itu, Luthfi menyarankan agar umat Islam lebih hati-hati dalam menggunakan Hadis. Menurutnya, DN perlu direvisi dengan penjelasan-penjelasan seperlunya. Misalnya ada keterangan Hadis ini shahih, Hadis itu palsu, dha`if, dan sebagainya. Bisa juga dibuat edisi mukhtashar-nya dengan membuang semua Hadis palsu atau yang tak jelas sumbernya. Ini mendesak dilakukan, mengingat sudah begitu terkenalnya kitab DN di masyarakat, sementara kritisisme masyarakat sendiri sangat minim terhadap Hadis. "Kalau dibiarkan berarti kita melestarikan kepalsuan Hadis-Hadis," tegas Luthfi.

Belajar di perpustakaan
Alumnus Pondok Modern Gontor 1983 ini mulai menekuni Ilmu Hadis sejak 1985. Setamat dari Pondok Modern Gontor, ia sempat masuk di SMU. Namun peneliti pada Forum Kajian Kitab Kuning ini hanya beberapa saat menikmatinya karena keburu mendapatkan beasiswa ke Damaskus (Damascus University) Syria. Kendati dirinya masuk Fakultas Syariah, namun sebagian besar waktunya digunakan mendalami seluk beluk Hadis sehingga kecintaannya tentang Hadis lebih terpupuk. Di Damaskus, ketua Persatuan Pelajar Islam (PPI) Syria, 1986, itu mengoptimalkan waktu kuliah untuk mendalami pelajaran di kampus.
Waktu di luar jam kuliah ia gunakan untuk mengkaji al-Qur’an, tafsir dan Hadis dengan arahan seorang ulama Syria.Melihat bakat dan ketekunan Luthfi, ulama tersebut merekomendasikan untuk belajar ke Jordania. Pada waktu itu ia belum menerima ijazah S1-nya. Hanya berbekal surat rekomendasi itu, suami Jehan Ashari, wanita keturunan Syria-Indonesia, ini melanjutkan pendidikan ke Jordan University dan lulus tahun 1994. Alasan Luthfi mendalami Ilmu Hadis, karena di Indonesia sangat jarang yang menguasainya. Ia berguru Hadis, mengkaji Shahih Muslim, pertama kali kepada Syeikh Syaukat al-Jabali. Kebetulan ia tinggal dekat rumah syeikh saat masih kuliah S1 di Damaskus, Syria. Kedua, ia mengaji kepada Syeikh Husein Khattab. Untuk Shahih Bukhari, Luthfi mengaji selama 5 tahun kepada Syeikh Musthafa. Dan juga dengan Syeikh Kuraim Roji, meski tidak terlalu lama karena waktunya berbarengan dengan pengajian dengan Syeikh Ramadhan al-Buthi.
Bila di Syria Luthfi belajar Hadis dari ulama, di Jordania Luthfi banyak belajar dari perpustakaan. Tak heran jika wakil koordinator Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orsat Amman, 1993-1994, itu mampu menghafal seluruh buku perpustakaan. Bahkan Direktur Perguruan Tinggi Islam al-Mughni Jakarta itu hafal benar judul buku, warna sampul, dan posisi buku yang berurutan di rak. Ini memudahkan penghafalan Hadis secara kaffah.Tesis masternya bertajuk Tahqiq Rasum al-Hadis fi al-ulum al-Hadis wa Dirasah setebal 825 halaman dengan 600 referensi dan manuskrip berumur ribuan tahun dari 5 negara yaitu Turki, Jordania, Syria, Malaysia, dan Indonesia. Setelah S2 di Jordania, Luthfi melanjutkan program doktor (S3) di Universitas Kebangsaan Malaysia.
Luthfi menghabiskan masa pendidikannya di Malaysia selama empat tahun (tiga tahun untuk menyelesaikan pendidikannya dan setahun untuk masa promosi gelar doktor). Metode pendidikannya kini ia terapkan kepada mahasiswanya di UIN Jakarta.Ia tak pernah tanggung-tanggung memberikan pekerjaan rumah bagi mahasiswanya. Pada awal perkuliahan Luthfi biasa meminta mahasiswa untuk mendata 1.000 Hadis dari perpustakaan. “Saya bisa menunjukkan judul, warna buku, dan letaknya di rak. Jadi tak ada alasan untuk mengelak dari tugas saya,” paparnya. Karena itu tidak sedikit mahasiswa yang mengeluh. Tapi, “Banyak juga yang berterima kasih dengan pola pendidikan saya,” ujar Direktur Pusat Kajian Hadis al-Mughni ini.n

Ketidakadilan Demokrasi Politik Soeharto


Disertasi Prof Dr Ramly Hutabarat SH


Saat nyantri di Pondok Modern Gontor, ia tak pernah bercita-cita menjadi ahli hukum, staf ahli menteri, guru besar, bahkan rektor. Yang ada hanya syahirul layaal (melek di malam hari).


Siapa bilang pemerintahan Soeharto merugikan publik? Buktinya, presiden Indonesia kedua itu sukses membangun infrastruktur untuk terselenggaranya agenda negara. Tapi, tunggu dulu! “Di sisi lain banyak terjadi ketidakadilan, khususnya di bidang politik,” ujar Ramly Hutabarat yang menulis disertasi "Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di Indonesia, 1971-1997."

Menurut Ramly, alam demokrasi politik soeharto terlalu banyak memunculkan diskriminasisi politik. Lulusan Pondok Modern Gontor, 1972, itu secara serius mengkaji sejauhmana ketidakadilan yang pernah dilakukan oleh penguasa Orde Baru ini. Banyak indikator yang menjurus ke arah sana. Misalnya, saat Soeharto berkuasa hanya terdapat tiga partai politik yakni Golkar, PDI, dan PPP. Ketiga parpol ini hasil fusi politik tahun 1973. “Di mana hanya ada satu partai yang memegang kendali kekuasaan, yakni Golkar. Tapi Golkar tak ingin menyebut dirinya partai,“ ungkap guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.

Pemimpin seperti ini disebut otoriter. Menurut Ramly, otoriterianisme pemerintahan bukanlah sesuatu yang baru dalam jagad kenegaraan kini. “Sudah berabad-abad lampau terutama dalam kerajaan-kerajaan yang ingin menjadikan rakyat tunduk pada kekuasaan penguasa,” ujar penulis buku-buku politik dan tata negara ini.

Lebih jauh ia mengungkapkan, tatanan demokrasi mulai tumbuh ketika mesyarakat dunia menggunakan sistem demokrasi dalam negara. Namun sering pula terjadi dalam sistem republik adanya pemerintahan otoriter, misalnya terjadi di negara-negara ASEAN. “Presiden Marcos dari Filipina dan Presiden Soeharto dari Indonesia. Mereka contoh penguasa otoriter yang justru berkuasa dalam negara republik,” papar Ramly.

Di Indonesia, pemerintahan otoriter berlangsung lebih dari 30 tahun. Dimulai setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI, muncul perubahan kepemimpinan bangsa dan negara. Pemerintahan Soekarno berganti menjadi pemerintahan Soeharto. Pemerintahan Soeharto di bawah sistem demokrasi Pancasila melaksanakan pemerintahannya dengan tekad melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.

Namun kata Ramly, konsistensi merealisasikan tekad ini relatif hanya berjalan beberapa tahun saja, sekurang-kurangnya hanya tahun 1966, 1967, dan 1968. Pemerintahan Soeharto semakin memiliki legitimasi setelah pada bulan Maret 1968 MPRS secara resmi menetapkannya sebagai presiden. “Sejak itulah Soeharto melakukan konsolidasi format kekuasaannya dengan menciptakan rekayasa politik,” kata Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Jawa Barat, ini. Rekayasa politik itu antara lain dilakukan melalui politik hukum dan menyusun organisasi sosial politik sebagai sandaran basis kekuasaan. Kemudian dikendalikan dengan cara teratur dan terarah. Basis Soeharto menjadikan Golkar sebagai wadah politiknya ditempatkan berbeda dengan partai politik lain. “Sebagai contoh, tampak dalam rekrutmen anggota kabinet yang tidak memberi kesempatan kepada partai politik selain Golkar untuk menjadi menteri atau gubernur,” kata Ramly.

Ramly merunut kebijakan Soeharto melahirkan undang-undang yang tidak proporsional. Pada 1985 lahirlah lima Undang-undang politik yang menjadi kekuatan Soeharto mengendalikan demokrasi politik, yang terdiri dari Undang-undang (UU) tentang Pemilihan Umum, UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya, UU Referendum, dan UU tentang Organisasi Kemasyarakatan. “Ini sekadar contoh saja produk hukum yang digunakan Soeharto untuk menciptakan politik hukum mengendalikan demokrasi politik,” lanjutnya.

Dalam penelitian ini Ramly menggunakan teori Carl Baggs dan Alfred Stepan tentang teori korporatisme. Ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menitikberatkan pada kajian perundang-undangan terutama berhubungan dengan demokrasi politik. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Bahkan ia harus menyambangi beberapa perpustakaan di Malaysia. Ramly merasa bangga karena kajian disertasinya dibimbing oleh pakar hukum kebanggaan bangsa Indonesia. Antara lain, Prof Ismail Sunny, Prof Yusril Ihza Mahendra, Prof Jimly As-Shiddiqie, Prof Harun al-Rasyid, dan Prof Maswadi Rauf.

Kiprah pendidikan
Menjadi seorang guru besar tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia beberapa waktu lalu menjadi kebanggaan Ramly. Menurutnya, posisi itu ia raih melalui perjuangan panjang. “Saya orang desa yang merantau ke Jakarta, menuntut ilmu di UI dengan susah payah. Kuliah jalan kaki dan kos di kamar yang jelek,” paparnya.

Ramly didapuk sebagai guru besar, jenjang karir akademik tertinggi, di UI setelah memenuhi berbagai persyaratan yang diperlukan, seperti banyak menulis karya ilmiah, berbicara dalam berbagai seminar, kegiatan sosial dan beberapa syarat lainnya. Ramly yang juga menjabat sebagai staf ahli Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini menuturkan, ingin memaksimalkan kegiatannya dalam dunia pendidikan, pengajaran, dan penulisan. Ini dibuktikan ketika dirinya terpilih sebagai rektor UIKA Bogor periode 2008-2012.

Sementara sebagai staf ahli menteri, ia ingin membantu pemerintah sesuai bidangnya. Misalnya memberi masukan dan gagasan-gagasan kepada menterinya. Salah satu gagasannya adalah keharusan membangun hak-hak politik warga negara sesuai perspektif UUD 1945. Dan, untuk membangun hak-hak politik warga negara dalam perspektif UUD 1945 perlu ditekankan jika mengabaikan hak-hak politik warga negara, hal itu menyimpang dari konstitusi, karena hak asasi manusia sebagai bagian intrisik demokrasi dalam era reformasi tidak dapat dibendung. Namun, jelas Ramly, harus diatur agar tidak terlalu liberal dan kebablasan.

Selain itu, tambah dia, untuk membangun hak-hak politik yang ideal bagi kehidupan bangsa dan negara, sistem multi partai politik harus disederhanakan secara demokratis, transparan, elegan, dan bermartabat. Salah satu caranya, memerberat syarat-syarat pendirian partai politik, memverifikasi syarat-syarat administrasi dan substansial secara menyeluruh di tingkat nasional dan daerah. Sehingga yang muncul ke permukaan adalah partai politik yang memenuhi persyaratan.

Bapak empat anak ini memaparkan, membangun hak-hak politik warga negara harus memerhatikan prinsip “equality before the law” yang memandang warga negara sama hak politiknya, baik individual maupun institusional dan “political will” yang menggagas secara elegan, demokratis, dan bermartabat untuk menciptakan sistem multi partai politik yang sederhana dan menghindarkan cara-cara otoriter serta pemaksaan membatasi jumlah partai politik.

Tak terpikirkan
Ramly lulus Pondok Modern Gontor tahun 1972. Selama nyantri tak pernah terpikirkan untuk menjadi guru besar atau rektor. Di benaknya hanya teringat disiplin pendidikan Gontor yang futuristik. Kebiasaan Syahirul Layaal (melek di malam hari) masih ia lakukan hingga kini. Manfaatnya, ”Alhamdulillah beberapa jabatan akademik pernah saya rasakan,” katanya.
Karena ijazah Gontor belum bisa diterima UI pada 1973, untuk beberapa bulan Ramly ikut belajar di sebuah SMA guna mendapat ijazah. Saat perpisahan SMA tersebut Ramly tampil memukau berpidato. ”Waktu itu tak ada siswa yang berani berpidato kecuali saya,” kata mantan pengurus Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM) Gontor bagian Perpustakaan itu.n tata septayuda

Biodata

Prof Dr Ramly Hutabarat SH MHum
Lahir: Sibolga, 15 Maret 1953
Pekerjaan:
- Rektor UIKA Bogor, 2008-sekarang
- Staf Ahli Menteri Bidang Polhukam, Departemen Hukum dan HAM RI, 2005-sekarang
- Ketua Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999-sekarang.
- Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI, 2000-sekarang.
Pendidikan:
- Pascasarjana (S3) Universitas Indonesia, 2004
- Pascasarjana (S2) Universitas Indonesia, 1996
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 1983
- Pondok Modern Gontor Ponorogo, 1967-1972
- SMP Negeri I Sibolga, 1969
- SD Negeri VIII Sibolga, 1966

Riwayat Pekerjaan:
- Anggota tim ahli bidang hukum, Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi DPR-RI, 1994
- Tim Pengkajian Masalah Hukum Tentang Kedudukan dan Fungsi Mahkamah Agung Pemegang Kekuasaan Tertinggi, BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional), 1999
- Kepala Biro Riset DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), 1996-2000

Jihad Bukan Sekadar Perang

Disertasi Doktor Andian Parlindungan


Penyebutan jihad dengan disertai fi sabilillah adakalanya mengandung arti qital dan adakalanya mengandung pengertian semua pekerjaan yang diperuntukkan buat umat Islam.


Siapa tak kenal al-Thabathabai, ulama Syiah kontemporer asal Iran? Meski dari kalangan Syiah, namun ia berbeda pendapat dengan ulama Syiah lain dalam hal jihad sebagai doktrin Islam. Menurut Dr Andian Parlindungan, al-Thabathaba’i memahami jihad tak hanya sebagai aktivitas perang atau angkat senjata. “Tapi mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk bidang sosial budaya,” kata Andian dalam disertasi "Konsep Jihad al-Thabathaba’i dalam Tafsirnya ”al-Mizan”.

Ulama Syiah umumnya meletakkan jihad sebagai dasar gerakan perjuangan. Jihad menurut mereka adalah kewajiban untuk menjaga penindasan agama, politik, dan kehidupan sosial. ”Praktiknya menyeru kaum Muslimin di dunia, khususnya kawasan Teluk, agar bangkit melawan para penguasa yang tidak Islami,” kata Andian.

Imam Musa Sadr, misalnya, seorang pemimpin religius kharismatik kelahiran Iran yang pindah ke Libanon, telah memimpin gerakan sosial yang besar. Gerakan umat Islam yang menuntut adanya kesetaraan bagi kaum Muslimin di tengah-tengah masyarakat Libanon yang didominasi oleh masyarakat Kristen Maronit.

Beberapa ulama modern Syiah seperti Ayatullah Mahmud Taleqani dan Murtadha Mutahhari, berargumen bahwa jihad adalah pembelaan diri atas nyawa, keyakinan, harta, serta integritas umat Islam. Pembelaan tersebut bagi Muthahhari, dimaknai sebagai perlawanan terhadap penindasan. “Penindasan agama yang terjadi pada masyarakat Islam atau non-Islam harus dilawan, dan perlawanan tersebut adalah jihad,” ujar Andian mengutip Muthahhari.

Namun ini sangat berbeda dengan al-Thabathaba’i. Perbedaan di atas, menunjukkan bahwa al-Thabathaba’i keluar dari mainstream ulama Syiah umumnya yang banyak menempatkan jihad sebagai sebuah perang atau angkat senjata. Meskipun pada tradisi Syiah tak dibenarkan melakukan jihad ofensif, dan yang dibenarkan hanyalah jihad defensif, yaitu kewajiban membela umat Islam dari ancaman dan penindasan.

Andian menguraikan bahwa istilah jihad dalam al-Qur’an banyak disandingkan dengan fi sabilillah (di jalan Allah). Hal ini menunjukkan bahwa jihad harus berorientasi pada upaya pencarian ridha Allah, bukan sekadar berjuang tanpa dibarengi niat yang tulus. Sebab papar Andian, jihad memerlukan pengorbanan yang besar; jika tidak dilakukan secara ikhlas, maka jihad menjadi amal yang sia-sia.

Dalam pandangan al-Thabathaba’i, jihad tak selalu berarti qital atau perang, sebab untuk mengajak umat manusia berada di jalan Allah dapat dilakukan dengan jalan damai tanpa paksaan dan kekerasan. Andian merujuk al-Thabathaba’i dalam tafsirnya al-Mizan, bahwa jihad pada ayat-ayat Makkiyah menunjukkan pengertian persuasif, yaitu mengajak orang bertauhid, menjalankan kehidupan secara benar, dan memerangi kejahiliahan. Sedangkan jihad pada periode Madinah, kata Andian, mengandung pengertian perang dan usaha keras dengan mengorbankan segala kemampuan untuk mencapai tujuan di jalan Allah.

“Pemberlakuan jihad dengan arti perang tak selamanya dibenarkan, sebab perang hanya dapat diberlakukan terhadap kaum kafir yang menentang Rasulullah SAW, dan kaum munafik yang murtad dan memerangi umat Islam,” papar alumnus Pondok Modern Gontor, 1988, ini. Sedangkan jihad dalam pengertian perang semata-mata untuk kemaslahatan sosial dan menegakkan kalimat tauhid, bukan sebagai tindakan kekerasan.

Tiga karakteristik
Andian menyimpulkan, setidaknya ada tiga karakteristik jihad menurut al-Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan. Pertama, jihad dengan Qur’an berarti menentang orang-orang kafir dengan membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka dan menerangkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran al-Qur’an. Kedua, jihad dengan amwal (harta), yaitu menunjukkan segala bentuk usaha di jalan Allah yang berkaitan dengan harta, seperti zakat, infak, dan sedekah. Ketiga, jihad dengan pengorbanan jiwa (nafs), mengandung arti semua usaha yang melibatkan jiwa dan raga manusia, seperti kewajiban shalat, puasa, dan haji.

Andian juga menguraikan, strategi pemberlakuan jihad menurut al-Thabathaba’i, di antaranya; jihad dengan lisan, yaitu seruan mengajak kepada jalan tauhid, baik dengan hikmah, nasihat, dan dialog. Lalu, jihad dengan tangan, yaitu amal shalih yang mendatangkan manfaat terhadap ketakwaan, perbaikan keadaan masyarakat, perhatian terhadap kehidupan para fuqara, melaksanakan zakat dan mengembangkannya. Berikutnya, lanjut Andian, jihad dengan hati, yaitu upaya mendisiplinkan diri dalam perjuangan ruhani agar tetap istiqamah di jalan Allah dengan mengerahkan segala kekuatan untuk memerangi setan dan hawa nafsu. Dan terakhir, strategi jihad dengan senjata, yaitu untuk menegakkan tauhid dan keadilan demi kemaslahatan.

Penyebutan jihad dengan disertai fi sabilillah adakalanya mengandung arti qital dan adakalanya mengandung pengertian semua pekerjaan yang diperuntukkan bagi umat Islam. “Ini termasuk pekerjaan-pekerajaan yang mendatangkan manfaat sosial seperti perbaikan jalan dan jembatan,” papar Andian. Ia menambahkan, dalam pandangan al-Thabathaba’i, strategi Jihad sosial yang terpenting adalah mengedepankan perdamaian dan persaudaraan.

jihad, sebagai usaha dan perjuangan dengan mengerahkan segala kemampuan di jalan Allah (fi sabilillah), tentu harus diaktualisasikan dalam dimensi-dimensi kehidupan sosial yang menentukan masa depan kehidupan manusia, baik dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat. Dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya.n tata septayuda

Boks

Muhasabah

Sejak kecil hidup Andian penuh perjuangan. Ketika usianya menginjak lima tahun, sang ayah meninggal dunia. Sebagai putra sulung dari empat bersaudara, Andian mau tak mau harus mengambil peran sebagai kepala rumah tangga. Setelah lulus SD, ibundanya menginginkan putranya ini melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Maka sejak 1981, dipilihlah Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Tujuh tahun lamanya ia nyantri di Gontor untuk selanjutnya memutuskan kembali ke kampung halaman dan kuliah di IAIN Medan. Di sinilah Andian mengalami perjuangan hidup. "Saat kuliah, saya tidak mendapat fasilitas layaknya dinikmati mahasiswa lain dari orangtuanya," dia menuturkan.

Tidak ada jalan lain kecuali harus bekerja sampingan untuk dapat membiayai kuliah dan juga ketiga adiknya. Suami dari Ermi Saidah ini pernah membuka kursus bahasa Arab, menjual pakaian dari rumah ke rumah, dan bekerja sebagai agen di perusahaan asuransi. "Ketika dituntut berbuat lebih banyak, saya lantas melaluinya bersama proses perenungan," katanya. Dari situlah dia melihat segala perjuangan hidup yang dilalui harus disyukuri sebagai pembelajaran dan membuatnya lebih bisa menghargai orang lain. Di sini, Andian juga harus mengatur hari-harinya untuk berdakwah.

Begitulah kemudian pada setiap kesempatan ia selalu menyampaikan pentingnya ber-muhasabah (introspeksi diri). Menurutnya, dalam kehidupan selalu ada sesuatu yang dicari oleh banyak orang. Lama kelamaan, tumbuh satu kesimpulan bahwa semua orang selama hidupnya pasti mencari 'sesuatu'. Dan sesuatu itu adalah kebermaknaan. "Tujuan dapat dicapai dengan proses perenungan dan dzikir," kata penceramah yang suka tampil di layar kaca ini.n tata


Biodata
Nama : Andian Parlindungan
Tanggal Lahir : Medan, 12 November 1968
Pekerjaan : Dosen STAIN Bengkulu dan Universitas YARSI Jakarta

Pendidikan
Pascasarjana (S3) UIN Jakarta, tamat 2008
Pascasarjana (S2) IAIN Jakarta, tamat 1997
IAIN Sumatera Utara Medan, Fakultas Syariah, tamat 1995
Institut Darussalam Gontor, Fakultas Usuluddin (1 tahun) 1989
KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, tamat 1988

Pekerjaan
Pembimbing Ibadah Haji dan Umrah, 2001-sekarang
Pendiri Nurani Spiritual Training, 2006-Sekarang
Dosen Universitas YARSI, 2000-sekarang
Dosen Fakultas Tarbiyah ST-IAIN Bengkulu, 1997-sekarang
Pendiri Kursus Bahasa Arab Darussalam Medan, 1990-1994
Guru Madrasah Tsanawiyah Darul Aman Medan, 1989-1991
Guru Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 1988-1989