Selasa, 26 Februari 2008

Bahasa Arab dalam Serapan Indonesia

oleh : Tata Septayuda Purnama
Majalah Gontor, Edisi Nopember 2007
Tak disadari, ternyata kosakata bahasa Indonesia yang sering kita ucapkan saat ini dominan merupakan serapan dari bahasa Arab.

Kalau Anda katakan: "Wakil-wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat bersama ahli mahkamah dan kehakiman, secara musyawarah dan mufakat membahas masalah hak asasi manusia, hukum, ketertiban umum dan keamanan. Persoalan ini syarat mutlak terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Hasil musyawarah diumumkan melalui maklumat resmi, disiarkan ke daerah-daerah dan wilayah Indonesia." Sadarkah Anda bahwa semua kata-kata yang ada dalam kalimat tersebut, selain kata penghubung, semuanya berasal dari bahasa Arab?

Saat dakwah Islam memasuki pusat-pusat peradaban dunia, bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Kala itu, bahasa Arab selain resmi menjadi bahasa pemerintahan, juga menjadi bahasa dunia pendidikan, bahasa ilmu pengetahuan, dan bahasa rakyat sehari-hari. Padahal negeri-negeri yang dimasuki Islam itu tadinya bukan negeri Arab, termasuk pula Indonesia.

Pemikir Nurcholish Madjid menyebutkan, wilayah Nusantara yang pertama mengangkat bahasa Arab menjadi literatur adalah Aceh. Pada abad 15 dan 16, Aceh menjadi kesultanan Islam mengikuti peradaban Islam di Iran atau India. Saat itu, India sudah menjadi pusat kerajaan Islam sejak abad ke-8, atau tujuh abad sebelum kesultanan Aceh dimulai. Uniknya, bangsa-bangsa yang orientasi negaranya Islam, walau tidak berbahasa Arab, cenderung memilih untuk menggunakan huruf Arab dalam bahasa tulis mereka.

Namun negara yang kurang sempurna proses islamisasinya, seperti Indonesia, bisa dikenali dari tidak adanya rakyat yang menggunakan bahasa Arab. Paling jauh mereka hanya sekadar menyerap bahasa saja. Hingga sangat maklum jika banyak kata dalam bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa Arab. Bahkan bisa dikatakan, unsur serapan yang paling dominan dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa Arab.

Nurcholis Madjid mencontohkan, kata serapan paling mencolok adalah istilah-istilah yang digunakan untuk lembaga-lembaga legislatif. Seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang berasal dari kata Arab: majlis, musyâwarah, dan ra’iyyah. Dewan Perwakilan Rakyat, berasal dari: dîwân, wakûl, dan ra’iyyah. Dewan Perwakilan Daerah pun demikian, kata “daerah” diambil dari dâ`irah.

Konon, dalam bahasa Indonesia tercatat tidak kurang dari 2.336 kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata serapan ini hampir melingkupi semua jenis tatanan kehidupan. Mulai istilah-istilah yang digunakan untuk lembaga legislatif, nama-nama pewayangan, atau pula nama-nama kota di Indonesia, seperti Demak, Madiun, Kudus, Medan, atau Katulistiwa.

Hamka mengungkapkan, kata “Demak” berasal dari bahasa Arab “dumu'” yang berarti air mata. Hal ini diibaratkan sebagai kesusahpayahan para muballigh saat menyiarkan Islam di kota tengah Jawa itu, sehingga harus banyak menangis mengeluarkan air mata dengan ber-munajat kepada Allah SWT. Sedangkan kata “katulistiwa” berasal dari dua kata: khatt al-istiwâ`, yang berarti garis lintang.

Pengaruh bahasa Arab juga bisa ditelusuri dari sepak terjang Walisongo saat mendakwahkan Islam ke tanah Jawa. Coba simak ungkapan Arab ini: Fatruk ma baghâ, nâla khairan samirina. Kata-kata dalam kalimat tersebut hampir mirip dengan tokoh wayang seperti Petruk, Bagong, Nala Gareng, dan Semar. Padahal, jika ungkapan Arab tersebut diterjemahkan, akan menjadi: "Tinggalkan sesuatu yang durhaka maka engkau akan mendapatkan kawan yang baik".

Ini kreasi Walisongo dalam mendakwahkah Islam lewat seni pewayangan dengan bidikan amar ma’ruf nahi munkar. Karena menurut ahli Tasawuf Abdul Hadi WM para wali di Jawa abad 15 dan 16, telah lama dikenal bukan saja sebagai penyebar Islam yang gigih, tetapi juga sebagai perintis dan pelopor kegiatan kreatif seni. "Hasilnya dapat kita lihat dalam seni musik, pewayangan dan sastra," ungkap dosen Universitas Paramadina Jakarta itu.

Sunan Kalijaga, menurut berbagai babad, tidak hanya mengislamkan penonton wayang. Ia juga mengislamkan jagat pewayangan yang dulunya sarat dengan ajaran Hindu. Misalnya, nama Jimat Kalimasada, senjata paling ampuh milik Yudhistira, oleh Kalijaga dihubungkan dengan kesaktian kalimat syahadat. Dan sebelum menyaksikan wayang, para penonton pun diharuskan untuk membaca Jimat Kalimasada (kalimat syahadat) itu, dan melewati pintu gapura.

Dalam bahasa Indonesia sekarang kata “gapura” artinya pintu gerbang. Kata ini berasal dari bentuk adjektiva ghafûr, yang artinya amat mengampuni. Konon, pada zaman Walisongo berlaku kepercayaan bahwa siapa yang melewati gerbang Masjid Demak untuk menyaksikan wayang, dengan sendirinya memperoleh pengampunan dosa-dosa atas agama yang dipeluk sebelumnya.



Relasi Islam Indonesia
Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh, termasuk Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar.

Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan “Teori Gujarat” ini. Salah satu alasannya, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini kemudian diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.

Teori kedua adalah “Teori Persia”. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal datangnnya Islam ke Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya, peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat terdapat tradisi Tabut, berarti keranda, yang juga untuk memperingati Hasan dan Husein.

Ada pula pendukung lain dari teori ini, yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Seperti kata “jabar” yang berasal dari kata zabar, “jer” dari ze-er, dan beberapa kata lainnya. Teori ini meyakini, Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad 13, dan wilayah pertama yang dijamah adalah Pasai.

Kedua teori di atas mendapat kritik yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni “Teori Arabia”. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan abad 12 atau 13, melainkan pada abad 7. Sultan Muhammad I dari kekhilafahan Utsmani yang pada tahun 808H/1404 M-lah yang pertama mengirim para ulama, kelak dikenal sebagai Walisongo, untuk berdakwah ke pulau Jawa. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad Hijriah, bahkan pada masa Khulafa` Rasyidin.

Banyak sumber dari literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad 7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. ’Ajâ`ib al-Hind, sebuah literatur kuno Arab, yang ditulis pada 1000 M memberi gambaran banyaknya perkampungan Muslim yang dibangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Dan hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah.

Dan Prof Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menegaskan kenyataan ini. Menurutnya, ada bukti proses korespondensi yang pernah dilakukan Sri Indrawarman, Raja Sriwijaya kala itu, dengan Umar ibn Abdul Aziz.




1 komentar:

Iyan Fitriyana mengatakan...

akang ini luar biasa, waktu masih di 'kobong' udah keliatan pinternya, sekarang jadi makin pinter. oiya, gimana perkembangan buku nya?lancarkan?
kapan kita bersua lagi? mau diciputat? atau ditanah kelahiran?di rangkabitung tercinta.