Selasa, 05 Februari 2008

Memaknai Aksi Derma dalam Islam

Oleh: Tata Septayuda Purnama

Memaknai Aksi Derma dalam Islam

FILANTROPI ISLAM DAN KEADILAN SOSIAL
Penulis : Tim Peneliti CSRC UIN Jakarta
Penerbit : CSRC UIN Jakarta, Jakarta, Desember 2006, xx+300 halaman

Dalam literatur Buddha Theravada dikisahkan, seorang Raja Asoka, India, memberi derma tanpa diskriminasi. Ia menyediakan makan-minum dan tempat berteduh untuk siapa saja. Raja ini juga menyediakan jasa pengobatan bagi manusia dan hewan.

Itu sekadar contoh praktek filantropi yang berlangsung sejak dahulu kala. Filantropi umumnya dijalankan individu dan atau organisasi berduit untuk membantu orang miskin, institusi keagamaan, usaha kebudayaan, atau pelayanan kesehatan. Filantropi Islam awalnya dijalankan dalam bentuk sedekah.

Kemudian, sekitar abad ke-8, muncul pemaknaan yang membedakan berbagai macam bentuk derma, misalnya hibah atau wakaf. Sedangkan zakat dipandang sebagai kewajiban keagamaan. Di Indonesia, praktek filantropi Islam berkembang seiring berdirinya kerajaan Islam.

Sejumlah raja Islam Nusantara mewakafkan rumah di Mekkah. Snouck Hurgronje mencatat, banyak rumah dan penginapan wakaf milik komunitas 'Jawah' (Nusantara) di Mekkah yang dijadikan fasilitas bagi jamaah haji asal Nusantara. Rumah-rumah wakaf ini dibangun para pembesar itu ketika mereka menunaikan ibadah haji. Antara lain rumah wakaf Aceh, rumah wakaf Banten, dan rumah wakaf Pontianak.

Belakangan ini, terdapat banyak harta benda wakaf di berbagai wilayah Tanah Air. Bentuknya mulai gedung, tanah, hingga uang tunai. Sayang, berbagai harta benda hasil filantropi itu hanya sedikit yang bisa dimanfaatkan untuk menopang kepentingan publik. Sebagian besar terfokus untuk tujuan keagamaan, terutama masjid.

Dalam pengantar buku ini, Prof. Azyumardi Azra mengungkapkan peran jaringan ulama Timur Tengah dalam filantropi Islam. Lahir dan berkembangnya ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah, NU, dan Sarekat Islam, pada awal abad ke-20 membuktikan kuatnya tradisi filantropisme dalam masyarakat Islam. Fakta sejarah menunjukkan, civil society muncul dan berkembang di tengah kekuasaan dinasti Islam yang paternalistik.

Mereka terbukti mampu menghidupi diri sendiri dengan berbagai aktivitas sosial secara sukarela. Salah satu cermin civil society Islam yang tumbuh karena filantropi adalah Universitas Al-Azhar di Mesir. Universitas tertua dan termasyhur ini hidup dan berkembang karena ditopang harta wakaf, zakat, infak, dan sedekah.

Bahkan kekayaan dan anggaran belanja lembaga pendidikan tinggi bergengsi itu lebih besar dari anggaran belanja negara Mesir. Inilah yang membuat institusi civil society itu begitu disegani, bahkan ditakuti pemerintah. Ini pula yang membuat Presiden Gamal Abdul Nasser menasionalisasi secara paksa seluruh harta wakaf Al-Azhar.

Di bagian lain, Prof. Komaruddin Hidayat berpendapat, umat Islam sepakat mengartikulasikan nilai-nilai agama normatif, seperti zakat, wakaf, infak, dan sedekah, untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Artikulasi nilai normatif itu dilakukan dengan menolong hamba-hamba yang terjerat kemiskinan. Keyataannya, masih banyak orang miskin, sekalipun umat Islam semarak menjaga ritual agama.

Apa penyebabnya? Komaruddin mencontohkan, konsep fardu kifayah masih dibatasi hanya dalam wilayah ritual. Padahal, yang lebih mendasar adalah fardu kifayah dalam kehidupan sosial. Karena Islam mengajarkan hidup sehat, fardu kifayah hukumnya membangun rumah sakit.

Karena Islam mewajibkan umatnya untuk pintar dan kaya, fardu kifayah hukumnya mendirikan sekolah yang bagus serta membangun sentra ekonomi yang kuat. Begitu seterusnya, sehingga ajaran Islam menjadi kekuatan pembebas dari kemiskinan dan kebodohan.

Hasil penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2004-2005) menunjukkan, hampir semua muslim Indonesia pernah berderma. Jumlah zakat dan sedekah umat Islam Indonesia diperkirakan mencapai Rp 19,3 trilyun per tahun. Dengan dana sebesar itu, banyak orang optimistis dapat mengatasi keterpurukan ekonomi.

Mengapa hingga kini kemiskinan masih menjerat sebagian besar warga negara yang berpenduduk mayoritas Islam ini? Buku hasil studi para peneliti Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Tata Septayuda Purnama
Pengamat perbukuan, tinggal di Jakarta
[Buku, Gatra Nomor 13 Beredar Kamis, 8 Februari 2007]

Tidak ada komentar: