Jumat, 24 Oktober 2008

Teologi Pembaruan Muhammadiyah dan Persis


Disertasi Doktor Fauzan Saleh


Indonesia sering dipandang sebagai kawasan Islam pinggiran di antara negara-negara Islam lain. Tapi wacana teologi pembaruan di negeri ini sudah berkembang sejak awal abad ke-20.


Secara geogafis, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam yang terletak paling jauh dari tempat kelahiran Islam di Arab Saudi. Inilah salah satu alasan Fauzan Saleh (55) memetakan secara komprehensif perkembangan pemikiran teologi Islam di Indonesia sepanjang abad ke-20. Fauzan memofuskan pembahasannya pada pemikiran kaum modernis, terutama dari kalangan Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) serta kelompok yang mewarisi semangat modernisme pada akhir abad tersebut. Kemunculan gerakan ini didorong oleh keinginan untuk melaksanakan ajaran Islam secara murni.
Dalam bahasa Fauzan, agar terbebas dari beban tradisi yang tidak memiliki sumber doktrin yang tegas. Kelompok ini juga dikenal sebagai gerakan pembaruan, yaitu upaya memahami doktrin Islam sesuai dengan semangat zaman. “Fokusnya berawal dari kesadaran agar umat Islam bangkit dari keterbelakangan,” kata lulusan Pondok Modern Gontor, 1973, itu. Mengupas pemikiran teologis yang dikembangkan masa itu, dapat dilihat sebagai langkah awal untuk membahas persoalan teologi secara sistematis dalam konteks historis-kultural bangsa Indonesia. "Inilah gambaran dasar yang ditimbulkan dalam proses islamisasi di Indonesia," lanjut Fauzan.
Disertasi di Mc-Gill University, Montreal, Kanada, itu berjudul The Development of Islamic Theological Discourse in Indonesia: A Critical Survey of Muslim Reformist Attempt to Sustain Orthodoxy in the Twentieth Century Indonesia. Kajian Fauzan dinilai berhasil menggambarkan kalangan modernis dan neo-modernis telah mampu menangkap imajinasi berbagai generasi yang berbeda-beda dari umat Islam Indonesia. Pendekatannya juga menunjukkan adanya tren baru dalam menyajikan kajian tentang pemikiran Islam yang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi kontemporer.
Prof Howard M Federspiel selaku promotor di Mc-Gill mengatakan disertasi Fauzan sebagai karya akademik terbaik tentang Islam di Indonesia, sejak kemunculan karya Prof Deliar Noer dari Cornell University, sekitar 50 tahun silam. Setidaknya terdapat empat poin yang dipersembahkan dalam disertasi ini. Di bagian awal Fauzan memberi gambaran ringkas tentang profil Islam di Indonesia sebelum munculnya gerakan pembaruan pada awal abad ke-20. Bagian ini untuk mengetahui keadaan perkembangan Islam di Indonesia sebelum diperkenalkan ide-ide pembaruan. “Pijakan ini melandasi pemahaman kami tentang perkembangan pemikiran teologi Islam pada masa sesudahnya,” kata dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, Jawa Timur, itu.
Pada bagian kedua Fauzan membahas para pemikir Muslim Indonesia yang mencoba merumuskan kembali ortodoksi Islam. Pembahasan ini diperlukan agar masyarakat memahami perdebatan soal hakikat ortodoksi yang berlangsung begitu lama antara kaum reformis dan tradisionalis. Sedangkan pada bagian ketiga, ia membahas gerakan pembaruan Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah dan Persis, yang berupaya merekonstruksi wacana teologi dengan mengusung pemurnian akidah sebagai tema sentralnya. Kepedulian ini ternyata tidak hanya terbatas pada para tokoh awal gerakan pemurnian ini, tapi dilanjutkan oleh para pemikir dari kalangan pembaharu dewasa ini.
Karena itu, menurutnya, sangat menarik membahas lebih lanjut upaya pemurnian akidah ini oleh generasi mutakhir semacam Dr Amien Rais yang mendapat gelar akademiknya di Barat dan menjadi pimpinan tertinggi di Muhammadiyah (1995-1998), dan tokoh-tokoh lain. Sedangkan pada bagian terakhir, Fauzan membahas perkembangan terkini pemikiran teologi Islam di Indonesia. Ini terutama mengangkat karya-karya Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, dua tokoh yang sangat menonjol dalam pembentukan wacana keislaman kontemporer. Pembahasan tema ini diarahkan pada perkembangan pemikiran teologi sejak pertengahan dekade 1980-an, ketika umat Islam Indonesia mulai memainkan peran lebih besar dalam kemajuan kultural dan ekonomi negeri ini.
Pada pertengahan dekade 1980-an ada perubahan yang sangat besar dalam hubungan antara umat Islam dan birokrasi pemerintahan. Upaya saling mendekat antara keduanya menunjukkan hasil yang cukup berarti. Setidaknya, menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi meluasnya budaya ortodoksi santri di Indonesia. Dalam banyak hal, upaya saling pengertian tidak mungkin terwujud kecuali jika umat Islam mau memerbaiki pemahaman teologisnya dalam memandang ide-ide modernisasi. “Suatu upaya yang tak kenal lelah dilakukan oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid,” papar pria kelahiran Ponorogo, 19 Januari 1953, ini.

Pendekatan Muhammadiyah dan PersisDasar-dasar keyakinan Muhammadiyah menyatakan dirinya sebagai pengikut Ahl al-Haqq wa as-Sunnah (sebagaimana secara nyata disebutkan dalam kitab al-Iman. Meskipun istilah Ahl al-Haqq wa as-Sunnah sama dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, Muhammadiyah tetap menggunakan istilah Ahl al-Haqq ini dengan merujuk secara langsung kepada karya Abu Hasan al-Asyari, a-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. Dalam buku ini al-Asyari menunjukkan posisi Ahl al-Haqq sebagai lawan dari Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’atau pengikut paham yang menyimpang dan bid’ah.
Muhammadiyah juga menegaskan bahwa pengikut Ahl al-Haq wa a-Sunnah, berdasarkan janji Nabi Muhammad SAW adalah golongan yang akan selamat dari api neraka. Karena itu, menurut Fauzan, kelompok inilah yang disebut al-Firqah al-Najiyah. Kitab al-Iman di dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah sepenuhnya dimaksudkan untuk membahas dasar-dasar keyakinan menurut interpretasi Muhammadiyah. "Islam dan iman sebagai dasar doktrin agama yang pokok, merujuk kepada Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim ibn al-Hajjaj," papar Fauzan.
Iman menurut pandangan Muhammadiyah, lanjutnya, memunyai konsekuensi tertentu bagi orang Islam. Iman harus diekspresikan dalam bentuk amal shalih. Karenanya, orang beriman harus memunyai kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Mereka harus bersedia mengorbankan sebagian kekayaan mereka di jalan Allah demi kesejahteraan masyarakat luas, khususnya fakir miskin. Kemiskinan yang diderita umat Islam Indonesia di awal abad ke-20, kata Fauzan, telah membangkitkan perhatian sebagian tokoh Muhammadiyah untuk mencarikan solusi. Mas Mansoer (1896-1946), seorang tokoh terkemuka Muhammadiyah saat itu, sangat besar perhatiannya terhadap kondisi sosial sekelilingnya. Dia begitu yakin bahwa kemunduran yang diderita umat Islam saat itu karena lemahnya iman, kebodohan, dan kecenderungan mementingkan diri sendiri. Di sisi lain, doktrin Muhammadiyah menegaskan bahwa rasio harus memainkan peran penting dalam memahami Tuhan dan bagaimana manusia menjalankan kewajibannya kepada-Nya.
Dengan kata lain, rasio merupakan aspek yang amat penting dalam kehidupan keagamaan. “Ini bagian konsep teologi pembaruan yang diusung Muhammadiyah," ungkap Fauzan. Sementara itu, Persis sangat besar perhatiannya kepada kondisi umat Islam Indonesia yang sangat memrihatinkan di awal abad ke-20. Dalam pendahuluan Anggaran Dasar organisasinya, Persis menyatakan bahwa umat Islam tidak akan jatuh ke jurang kesengsaraan seandainya mereka tetap berpegang teguh pada dasar keyakinan sesuai al-Qur'an dan Sunnah. Pendahuluan Anggaran Dasar tersebut menyatakan pula kerangka memerbaiki kesejahteraan umat Islam: mereka harus menjauhi semua bentuk keyakinan yang keliru dan kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam menyebarluaskan ide-idenya, Persis menggunakan pola “hidup berjamaah” di bawah bimbingan seorang imam sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad. Karena itu, tujuan utama Persis ialah menerapkan ajaran Islam sebagai aspek kehidupan umat Islam serta kembali kepada kemurnian akidah dan syariat. Konsekuensinya, Persis menegaskan perlunya menghapuskan bentuk-bentuk bid’ah, takhayul, khurafat dan taklid buta serta kemusyrikan yang masih merata di kalangan umat Islam Indonesia saat itu. Perumusan doktrin Persis lebih banyak didasarkan pada upaya yang dilakukan oleh A Hassan (1887-1958), tokoh intelektual terkemuka di dalam organisasi ini.
Dengan tulisannya yang cukup produktif (sekitar 80 risalah), Hassan diakui sebagai pelopor perkembangan literatur Islam di Indonesia awal abad modern. Menyoal teologi, dalam Islam dan Kebangsaan (1941), misalnya, Hassan memberikan landasan bagaimana rakyat sebuah bangsa harus menjalin hubungan sesama rakyat namun tetap menjaga ketaatan kepada Allah. Menurut Fauzan, konsep Hassan ini menunjukkan kepada umat Islam tentang peran Islam yang sebenarnya di dalam kehidupan masyarakat. Fauzan menambahkan, buku Hassan ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi umat Islam dalam membahas nasionalisme sebagai dasar bagi negara Indonesia yang akan datang.
Sebab, ketika datang ke Indonesia, Islam tak lagi unggul secara politik, ekonomi dan budaya. Indonesia sering dipandang kawasan Islam periferal (pinggiran) di antara negara-negara Muslim lain. Tapi seiring itu, wacana teologi pembaruan sudah berkembang sejak awal abad ke-20. Fauzan menyimpulkan, gerakan Muhammadiyah (1912) dan Persis (1923) inilah yang mengawali munculnya gerakan kaum reformis di awal abad ke-20. Ini merupakan bentuk respon terhadap kebutuhan pemurnian ajaran Islam dari berbagai pengaruh budaya lokal yang bertentangan dengan semangat Islam.n tata septayuda


Terbit di Belanda
Doktor Fauzan Saleh dilahirkan di Ponorogo, Jawa Timur, 19 Januari 1953. Menamatkan pendidikan menengahnya di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, 1973, ia mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di Gontor hingga 1979, sambil menyelesaikan program Sarjana Muda di Institut Pendidikan Darussalam (IPD) Gontor. Pada 1984 Fauzan memeroleh gelar doktorandus (Drs) dari Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya. Tiga tahun kemudian ia diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri. Fauzan mendapat beasiswa dari Canada International Development Agency (CIDA) untuk melanjutkan pendidikannya di jenjang Master dan memeroleh gelar Master of Arts (MA) di Institute of Islamic Studies, McGil University, Montreal, Kanada, 1992. Sedangkan gelar doktor diperoleh dari universitas yang sama pada 2000, dengan disertasi berjudul “The Development of Islamic Theological Discourse in Indonesia: A Critical Survey of Muslim Reformist Attempt to Sustain Orthodoxy in the Twentieth Century Indonesia”. Atas saran dan dukungan Prof Howard M Federspiel, selaku promotor, disertasi tersebut diterbitkan di Belanda dengan judul Modern Trends in Islamic Theological Discourse in the Twentieth Century Indonesia: A Critical Survey (Leiden, Boston an Koln: Bril, 2001). Pada 2004, disertasi Fauzan juga diterbitkan oleh Penerbit Serambi, Jakarta, dengan judul Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Fauzan pernah mengajar di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (2001-2003). Sampai sekarang ia juga mengajar di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan liatin aja, isi dunk...